Jakarta (ANTARA) – Kratom tiba-tiba viral. Kontroversial kandungannya diperbincangkan santer.
Padahal jika dilihat dalam Peraturan Menteri Kesehatan terbaru, PERMENKES No. 4 Tahun 2021, tentang Daftar Perubahan Penggolongan Zat-zat yang dilarang (Narkotika), sama sekali tidak ditemukan Kratom atau Mitragyna Speciosa di Permen tersebut.
Demikian disampaikan Ketua Umum Koperasi Produsen Anugerah Bumi Hijau (KOPRABUH), Yohanis Cianes Walean usai menyampaikan surat Permohonan Perlindungan dari Dampak Penyebaran Hoaks atas pemberitaan salah satu televisi yang menyebut Kratom masuk golongan 1 jenis narkoba, di Kantor Komisi Penyiaran Indonesia, Jl Ir. Juanda, Jakarta Pusat,beberapa hari yang lalu.
Menurutnya, Kratom bukan narkoba. Kratom komoditas ekspor resmi jenis bahan baku herbal. Kratom produk obat kearifan lokal. Masyarakat suku Dayak, meyakini khasiat Kratom sebagai obat tradisional yang ampuh meredakan rasa sakit, menambah energi dan membantu relaksasi.
“Kegiatan masyarakat berladang jika mengalami luka, cukup memetik daun segar Kratom kemudian dikunyah lalu ditempelkan ke luka. Itu bisa menghentikan pendarahan dan mengurangi rasa nyeri,” sebut Walean sebagaimana ceritera sejumlah petani Kratom di Kalimantan.
Kratom juga dapat memulihkan Kesehatan wanita pasca melahirkan. Sementara, bagi laki-laki, Kratom sering diminum untuk mengatasi lelah dan menambah stamina.
Masyarakat suku Dayak Kantuk sejak ratusan tahun lalu mengkonsumsi Kratom layaknya teh. Hanya mengambil beberapa helai daun segar kemudian direbus dan airnya diminum. Aroma dan warnanya persis seperti teh pada umumnya.
“Jika Jepang terkenal dengan teh Ocha-nya, ternyata Indonesia juga punya teh Dayak bahan baku Katom yang kini namanya sudah mendunia,” ujar Walean.
Dikatakannya, Kratom dengan nama ilmiah Mitragyna Speciosa adalah tanaman asli hutan tropis dan penyebarannya ditemukan di beberapa negara di Asia seperti Myanmar, Thailand, Malaysia, Kamboja, juga Indonesia.
Di Indonesia sendiri tanaman yang bentuknya kokoh dengan tinggi bisa mencapai 40 m dan diameter 30cm ini, tumbuh subur di bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS).
Komoditas Kratom beberapa tahun belakangan, menurut keterangan Wendy Alfred, salah seorang pelaku usaha Kratom di Pontianak, Kalimantan Barat, bahwa baginya puncak kejayaan tanaman ini pada tahun 2013 -2018.
“Dulu walaupun kiriman masih sedikit, dikisaran 2-5 ton perbulan, bahkan hanya jual 500 kg saja, namun keuntungannya sudah bisa membeli mobil avanza secara tunai,” katanya mengingat.
Menurutnya, dulu tidak ada yang namanya sistem COD (Cash On Delivery) karena yang ada, pembeli khususnya di pasar Amerika malahan seperti berlomba untuk mentransfer pembayaran agar pesanannya diproses terlebih dahulu.
Dan lagi, saat itu, tidak akan ada produk yang disiapkan sebelum pembayaran masuk ke rekening produsen.
Pada kurun waktu itu, khususnya bagi sebagian besar masyarakat yang menggantungkan hidup dari pendapatan sebagai petani karet atau sawit, dimana harga karet seolah enggan beranjak dari angka Rp.12.000- Rp. 15.000/ kg dan harga sawit menyusul anjlok dikisaran Rp.12.000 – Rp.14.000 / kg, sementara daun Kratom yang dikeringkan kemudian dicacah halus harganya sudah pada kisaran Rp.45.000- Rp.65.000/kg.
KemundianKratom walaupun sebagai komoditas baru, tetapi dapat menjadi harapan masyarakat karena memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi.
Selama ini, Kratom telah diekspor ke beberapa negara, diantaranya Amerika Serikat, Canada, dan beberapa negara di benua Eropa serta Asia.
“Ini merupakan kelegaan besar di tengah krisis dan anjloknya devisa, neraca dan nilai perdagangan ekspor komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) nusantara lainnya,” jelas Walean.
Seperti pengakuan Samsu Bahri, salah satu petani asal Jongkong, bahwa dulu ketika musim hujan dan banjir masyarakat banyak yang harus menahan lapar karena tidak bisa menoreh pohon karet dan juga kesulitan menangkap ikan.
Sementara, bagi masyarakat di Kapuas Hulu yang mengandalkan hidupnya dari tanaman Kratom, sangat memberikan solusi bagi mereka.
Berapa tahun belakangan Kratom memang sudah sangat diminati karena khasiatnya dan cara mengkonsumsinya yang tanpa campuran bahan kimia. Kondisi ini membuat Kratom menjadi alternatif yang sangat digemari.
Di Amerika sendiri, menurut data Asosiasi Kratom Amerika, pada tahun 2019 saja ada sebanyak 15 juta lebih pengguna daun Kratom. Maka tidak heran komoditas ini meroket dan berpotensi menghasilkan pundi-pundi hingga triliunan rupiah pertahunnya.
Namun masalah baru muncul ketika potensi ekonomi yang begitu tinggi, tidak diimbangi dengan aturan yang jelas untuk mengatur mekanisme pasar jenis komoditas ini.
Budidaya yang tidak terbendung dan para pelaku usaha mulai menjamur, menyebabkan harga jual menjadi anjlok.
Dan, informasi teranyar menyebut bahwa Thailand melihat potensi Kratom di pasar global, yang tadinya memasukan Kratom digolongan 5 –termasuk zat yang dilarang– kini bahkan Menteri Perdagangannya turut mendampingi masyarakat mengolah Kratom. Tailaind kini sudah mulai marak melakukan budi daya.
Kembali ke Indonesia, harap Walean, petani dan para pelaku usaha mengharapkan pemerintah hadir untuk membuat regulasi komoditas ini agar status abu-abu Kratom tidak berpotensi disalah-gunakan oknum untuk kepentingan pribadi.
“Walau petani dan para pelaku usaha Kratom masih seperti anak yatim, tetapi sudah terbukti komoditas ini mampu menembus pasar global dengan potensi penghasilan mencapai triliunan rupiah pertahun. Ini devisa yang cukup besar,” pungkas Walean.(***)
Pewarta : Redaksi
Editor : Iskandar Zulkarnaen